
Barak1news.com. Labura.
Insiden tegang yang nyaris berakhir adu jotos antara seorang tenaga honorer dari salah satu dinas di Labura dengan wartawan media online, Rizal Naibaho, kini semakin menguatkan dugaan adanya praktik ilegal pungli dan tekanan kerja yang sistematis di dinas terkait.
Konflik ini membongkar lapisan ketakutan para honorer terhadap ancaman pemecatan akibat bocornya informasi mengenai setoran wajib senilai Rp.10 juta.
Dugaan semakin menguat bahwa insiden ini bukanlah serangan pribadi, melainkan upaya intervensi terstruktur yang berakar pada kepanikan internal untuk membungkam informasi yang sangat merugikan.
Ketegangan terjadi di Perumahan Puri Minimalis Rantau Bangun Tahap I, ketika honorer tersebut mendatangi tim media dengan luapan emosi yang dipicu oleh ancaman kehilangan pekerjaan.
”Kebetulan, di sini rupanya kalian, dari tadi ku cari-cari kalian, gara-gara kalian nyawaku dan pekerjaanku terancam,”Kata salah satu honorer inisial P bekerja di Dinas PUPR Kabupaten Labura.
Di tengah keputusasaan yang miris, honorer tersebut dengan arogan memaksa tim media untuk memberitahukan siapa sumber informasi mereka yang sebenarnya.
Tuntutan ekstrem ini didorong oleh niatnya untuk membuktikan kepada rekan-rekannya dan atasan bahwa bukan ia yang membocorkan rahasia dinas tersebut.
Tindakan ini menyoroti betapa kuatnya sistem intimidasi di internal dinas, di mana seorang honorer harus mempertaruhkan keselamatan pribadinya demi membersihkan nama dari tuduhan ‘kibus’ yang mengancam mata pencahariannya.
Merasa dilecehkan dan dituduh tanpa dasar, wartawan Rizal Naibaho merespons keras, membuat situasi memanas dan nyaris terjadi baku hantam.
Ketegangan baru mereda setelah rekan-rekan Rizal Naibaho turun tangan melerai. Tim media segera menegaskan posisi mereka, berpegang teguh pada prinsip jurnalistik dan hukum.
Tim media juga menjelaskan bahwa mereka terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) untuk melindungi narasumber rahasia dan tidak akan pernah mengungkapkan identitas nara sumber kami apa pun alasannya.
Lebih lanjut tim media menekankan bahwa tindakan intimidasi dan paksaan yang lakukan honorer tersebut dapat dikategorikan sebagai menghalang-halangi tugas jurnalistik, yang dapat diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda hingga Rp.500 Juta berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Penjelasan regulasi dan konsekuensi hukum ini berhasil meredakan amarah honorer. Ia kemudian menyampaikan permintaan maaf yang tulus, mengkonfirmasi adanya konflik internal dan intimidasi.
”Minta maaf lah aku, Bang,” ujarnya. “Aku sampai ribut sama kawan kerjaku, bahkan diancam, karena dituduh sebagai Kubus (informan).”
Insiden yang diwarnai keputusasaan ini menjadi alarm keras tentang dugaan praktik Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan nominal besar (Rp.10 juta), serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum atasan untuk menekan dan membungkam bawahan.
Publik Labura kini menuntut agar aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, segera turun tangan mengusut tuntas dugaan setoran wajib Rp.10 juta dan pola intimidasi yang dialami para pekerja honorer, guna membersihkan instansi pemerintahan dari praktik korupsi.
(Ahmadt p s/tim)