
Photo : NURRIZALKAHFY, POHAN PUTRA CINGKAM GALA-GALA MERAH UMAR, PEMERHATI PEMBANGUNAN ACEH SINGKIL
Barak-1news.com.| Aceh Singkil.
Pemerhati Pembangunan Aceh Singkil, Nurrizal Kahfy, Pohan Putra Cingkam Gala-gala Aceh Singkil menyoroti keberadaan sejumlah perusahaan perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di Aceh Singkil yang hingga kini belum sepenuhnya, Ungkap NurrizalKahfy, Pohan rabu, 24/9/2025 di kantor Redaksi Media Barak-1news.com Medan dalam siaran Pres nya.
Melaksanakan kewajiban membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitar. Padahal kewajiban tersebut sudah jelas diatur dalam berbagai regulasi nasional maupun kekhususan Aceh, antara lain:
UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58 ayat (1) yang mewajibkan perusahaan perkebunan membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar.
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA Nasional) yang menegaskan tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 jo. Nomor 98 Tahun 2013, yang mewajibkan perusahaan membangun plasma minimal 20% dari luas HGU.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA Aceh), antara lain:
Pasal 148 ayat (1): Pemerintah Aceh berwenang mengatur dan mengurus pertanahan di Aceh.
Pasal 156 ayat (2): Pemerintah Aceh berwenang mengatur dan mengurus bidang perkebunan, termasuk kemitraan dengan masyarakat.
Pasal 253 ayat (1): Setiap orang atau badan usaha yang mengusahakan sumber daya alam Aceh wajib memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Namun, kenyataannya masyarakat Aceh Singkil yang tinggal di sekitar perkebunan masih hidup dalam kemiskinan, sementara perusahaan pemegang HGU menikmati keuntungan besar. Kondisi ini adalah pelanggaran hukum, pengkhianatan terhadap UUD 1945 Pasal 33, sekaligus pengabaian terhadap kekhususan Aceh.
Sedangkan pemilik HGU yang hanya menikmati hasil bumi Aceh Singkil tanpa memenuhi kewajiban membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitar.
Padahal, kewajiban tersebut telah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017, serta ketentuan lain yang mewajibkan adanya kebun plasma sebagai bentuk keadilan ekonomi. Ujar Rizal Pohan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh seharusnya mendapatkan perhatian serius. Apalagi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini luasnya sangat besar, namun manfaat langsung untuk masyarakat masih jauh dari harapan.
Untuk itu, kami selaku putra daerah Aceh Singkil mendesak Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, agar:
1. Memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan HGU di Aceh Singkil yang tidak melaksanakan kewajiban plasma.
2. Mencabut izin HGU dari perusahaan yang membandel, lalu menyerahkan kembali lahan kepada masyarakat dan Pemerintah Aceh sesuai amanat UUPA Aceh.
3. Menginstruksikan audit nasional terhadap seluruh HGU, dengan prioritas Aceh Singkil sebagai daerah yang rawan konflik agraria dan perkebunan.
4. Menguatkan implementasi UUPA Aceh, sehingga masyarakat Aceh memperoleh perlindungan hukum dan manfaat ekonomi yang adil.
Negara tidak boleh kalah dengan korporasi rakus. Jika kewajiban plasma terus diabaikan, maka Aceh Singkil hanya akan menjadi ladang keuntungan segelintir perusahaan, sementara rakyat tetap miskin di tanah kelahirannya sendiri.tegas NurrizalKahfy, Pohan juga Pemerhati Perkebunan Nasional.
Presiden Prabowo harus hadir dengan langkah tegas, demi wibawa negara, penghormatan terhadap kekhususan Aceh, dan tegaknya keadilan yang merata bagi rakyat dan
Masyarakat Aceh Singkil.
(Red) Barak-1news.com