
Barak-1News.com | Jakarta
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito mengungkapkan, adanya temuan guru honorer direkrut sebagai petugas ad hoc pemilu, hal ini telah menyalahi aturan.
Menurut dia, temuan itu dalam catatan akhir tahun, yang digelar di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Sabtu (31/12) kemarin.
Dia mengatakan, temuan guru honorer merangkap jabatan menjadi petugas ad hoc pemilu, terjadi di Lebak, Banten.
“Di kasus Lebak, Banten, yang diadukan Bawaslu, tapi KPU juga diadukan, karena sedang proses melakukan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), itu adalah rekrutmen Panwascam (Panitia Pengawas Kecamatan), yang mestinya sesuai aturan dasar, tidak boleh merangkap jabatan”, kata Heddy kepada Wartawan.
Tetapi ternyata teman-teman Bawaslu maupun KPU kabupaten tidak menyadari itu. “Misalnya guru honorer masuk sebagai penyelenggara ad-hoc, Panwascam atau PPK”, ungkapnya.
Selain guru honorer, perangkat desa pun ikut direkrut menjadi petugas ad hoc pemilu. Heddy mengimbau Bawaslu dan KPU harus lebih profesional saat merekrut petugas ad hoc pemilu.
“Kemudian perangkat desa ada juga yang direkrut. PKH pekerja pendamping sosial di sana itu direkrut sebagai anggota panwascam. Artinya apa? Saya ingin mengimbau kepada teman-teman penyelenggara pemilu, terutama KPU dan Bawaslu, harus bertindak semakin profesional terutama dalam hal rekrutmen penyelenggara ad hoc”, tegasnya.
Tak Boleh Rangkap Jabatan
Diketahui, pemerintah telah mengatur bahwa petugas penyelenggara pemilu tidak boleh merangkap jabatan. Hal itu tertuang dalam Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Dua penyelenggara pemilu yang ad hoc ini adalah ujung tombak untuk penyelenggaraan pemilu. Kalau rekrutmen bermasalah, artinya bermasalah?
Itu seperti tadi perangkat desa dijadikan penyelenggara ad hoc, guru honorer dijadikan penyelenggara ad hoc, petugas PKH pendamping keluarga harapan dijadikan penyelenggara ad hoc, padahal mereka sama-sama sudah menerima honor dari APBN”, ujar Heddy. (Dtn/Red)
Editor | Mukhlis Nst