
Kontalasi politik semakin menunjukkan dinamikanya dua bulan menuju Pesta Demokrasi yaitu Pemilu 2024 mendatang. Sebab pada bulan Nopember ini masa kampanye bagi para Calon Legislatif baik DPR-RI, DPD-RI, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten dan Presiden/Cawapres sudah di mulai. Aba-aba telah dikeluarkan penyelenggara Pemilu bagi setiap calon untuk berintraksi dan bersosialisasi kepada konstuennya. Masing-masing calon dengan kepiawaiannya menawarkan program yang visioner sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi masyarakat. Janji politik gencar di mainkan oleh setiap calon dalam upaya mencari simpatik masyarakat agar dapat mendukungnya, juga menjadi tontonan yang biasa-biasa saja.
Namun ada hal yang menarik perlu menjadi pembahasan dalam tulisan singkat ini, yaitu netralitas ASN, Kepala Desa dan Pejabat BUMN/BUMD dalam Pemilu 2024 mendatang. Bisakah mereka netral dalam pesta demokrasi ini? atau sebaliknya, mereka lebih getol untuk menyuarakan salah satu calon agar dipilih?.
ASN, Kepala Desa, dan Pejabat BUMN/BUMD harus Netral
Jauh-jauh hari Badan Pengawas Pemilihan Umum telah mengingatkan tentang netralitas ASN, Kepala Desa, BPD dan Pejabat BUMN/BUMD juga TNI/Polri sebagai garda terdepan pengamanan Pemilu. Kenapa hal ini dilakukan Bawaslu? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka tidak netral?
Dalam konteks ini perlu kita pahami bersama bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sektor yang sangat penting dalam pemilu 2024 karena berkaitan dengan pelayanan publik. ASN harus pada posisi netral dan tidak berpihak kepada siapapun terkait pemilu, sebab mereka sebagai pemberi pelayanan publik harus bebas dari intervensi politik dan harus memastikan kebijakan pemerintah tentap fokus pada kepentingan umum bukan pada kepentingan golongan.
Disamping itu, ASN harus menghindari dirinya dari penyalahgunaan sumber daya yang mereka miliki untuk tujuan politik, tetap menjaga integritas kompetisi politik dan melindungi kepentingan Umum.
Netralitas ASN ini telah tertuang didalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu tepatnya pada pasal 280 ayat (2) dalam pelaksanaan dan/atau tim kampanye pada kegiatan kampanye pemilu di larang mengikut sertakan ASN, TNI/Polri, Kepala Desa, BPD, Aparat Desa dan anak-anak. Dan apabila pasal 280 ayat (2) ini di langgar, maka undag-undang No 7 Tahun 2017 juga mengatur sanksinya pada Pasal 494. Dalam pasal itu dijelaskan Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/ atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Sementara pada pasal 282 juga ditegaskan, Pejabat negara, Pejabat Struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Dalam pasal 283 juga sebagaimana pasal 282 dilarang untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu, selama dan sesudah masa kampanye. misalnya seorang kepala desa memfasilitasi salah satu calon untuk berkampanye didesanya dengan mepengaruhi masyarakat yang ada di desa tersebut.
Hal ini tidak menunjukkan netralitas dan merugikan calon lain, karenanya dalam ayat (2) tertuang pelarangan yang meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
Sedangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 pasal 2 sudah dijelaskan bahwa setiap ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Untuk itu setiap ASN harus menjaga netralitasnya agar proses perjalanan Pemilu bisa berjalan secara jujur dan adil. bentuk larangan itu seperti menghadiri deklarasi/kampanye peserta Pemilu, membuat postngan di medsos pada grup pemenangan calon, ikut dalam kegiatan kampanye atau sosialisasi calon dan lain sebagainya.
Presiden RI Joko Widodo mengamanatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) untuk menjaga dan mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan di tahun 2024 mendatang.
Sebab, Ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat karena adanya potensi intervensi politik dalam proses pencapaian target pembangunan.
Salah satu pergerakan ASN yang perlu di awasai adalah di media sosial, sebab medsos cendrung membuat ASN terlibat dalam dukung mendukung tanpa disadari. Dalam sektor ini Bawaslu harus melakukan pengawasan dan terus memonitoring agar pelanggaran netralitas ASN dapat terpantau.
Demikian pula dengan kepala Desa yang notabenenya penguasa di suatu wilayah desa dan sebagai orang yang di hormati di desa, dengan tidak netralnya mereka akan berpengaruh terhadap jalannya proses demokrasi di desa tersebut. Seyogyanya seorang kepala desa harus dapat bersinergi dengan pengawas pemilu dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan saat kampanye.
Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan program Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi untuk giat melaksanakan Pojok Pemilu Damai dan ini sudah dijalankan Polres dan Polsek di wilayah hukum Sumatera Utara.
Kegiatan itu melibatkan semua unsur dari camat, kepala desa, PPK, Panwaslu, Ormas, OKP dan tokoh masyarakat. Tujuannya untuk memberikan penjelasan tentang pemilu yang jujur dan adil. Bagaimana menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan dan kepada siapa membuat pelaporan serta bagaimana menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman.
Pojok Pemilu Damai telah berjalan sebelum tahapan kampanye pemilu berlangsung dan hal ini mendapat respon positif dari masyarakat.
Tugas Media sebagai Kontrol Sosial sangat Penting
Dalam memantau dan mengawasi ketidak netral-an ASN, Kepala Desa, Aparatur Desa, BPD, BUMN/BUMD dan semua yang termaktub didalam UU No. 7 Tahun 2017 salah satunya adalah media.
peran media sangat urgen dalam melakukan pengawasan publik, kontrol sosial dan partisipasinya dalam membangun kesadaran politik. dengan demikian akan terbangun kesadaran politik masyarakat untuk lebih peka melihat kondisi di lapangan khususnya di masa kampanye.
Dalam hal netralitas ASN, media harus lebih jeli dalam memonitoring dan mengawasi pelaggaran ASN sebagaimana yang telah tertuang didalam UU No. 7 Tahun 2017. Dengan bukti cukup media harus mampu mempublikasikannya agar masyarakat memahami bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oknum ASN tersebut.
Disamping itu media harus memberikan informasi yang benar kepada masyarakat agar informasi itu sampai secara benar dan dapat mengedukasi masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mampu sebagai garda terdepan untuk melakukan pengawasan partisipatif.
Media sebagai pengawas partisipatif berperan penting untuk mengontrol dan mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu. Artinya, bukan hanya saja mengawasi netralitas ASN juga tak kalah pentingnya mengawasi netralitas penyelenggara pemilu itu sendiri.
Untuk itu, Bawaslu sebagai lembaga yang legitimit dalam melakukan pengawasan harus pro aktif dalam memonitoring segala bentuk pelanggaran. Seharusnya dengan segala kewenangannya saat ini, Bawaslu tidak sekedar menunggu saat kampanye saja. sebelum masa kampanye juga harus melakukan tindakan agar proses pemilu berjalan secara adil. Bukan diam dan menunggu laporan saja. sebagai bukti, belum masa kampanye berjalan, tapi APK para calon sudah bertebaran di sepanjang jalan. Lantas kenapa Bawaslu diam ?
Kesimpulannya
Setiap ASN, Kepala Desa, Aparat Desa, BPD, TNI/POLRI dan Pejabat BUMN/BUMD sebagaimana tertuang didalam undang-undang no 7 tahun 2017, pasal 280 ayat (2) harus netral dan tidak mencoba-coba untuk memihak salah satu calon. Karena hal itu merupakan pelanggaran dan dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Media sebagai pengawas partisipatif harus dapat memantau dan mengawasi siapapun yang melakukan pelanggaran dan dengan cukup bukti dapat mempublikasikannya agar proses pelanggarannya tidak diabaikan begitu saja.
Bawaslu dengan segala kewenangannya harus mampu melakukan pengawasan dengan pro aktif tanpa membedakan satu calon dengan calon lainnya dan memberikan sanksi apabila itu menyangkut pelanggaran pemilu. Sebab Bawaslu merupakan pintu masuk atas semua pelanggaran yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu dengan melakukan kajian-kajian terhadap pelanggaran tersebut.
Penulis : Wan Ades Iskandar Nasution (Wakil Pemimpin Reaksi)